Empat
tahun sudah keduanya menikah. Namun pasangan suami istri itu belum juga
dikaruniai buah hati. Mulanya mereka tidak merasa ada masalah. Namun saat
terdengar bisik-bisik tetangga, sang istri mulai resah. “Kok belum punya anak
ya mereka. Yang punya masalah suami atau istri?” kalimat-kalimat itu sampai
juga di telinga mereka.
Akhirnya
suami istri itu pergi ke dokter. “Mohon bersabar pak,” kata dokter kepada pria
itu sambil menyerahkan hasil lab. “Istri anda mandul dan agaknya tidak ada
harapan untuk bisa hamil.” “Kalau begitu, jangan sampaikan ini kepadanya Dok”
“Maksud Anda?” “Saya khawatir itu akan melukai perasaannya. Dokter katakan saja
kalau saya yang mandul” “Tidak bisa begitu. Anda kan tidak ada masalah” Cukup
lama mereka berbincang, hingga pria tersebut berhasil meyakinkan dokter untuk
mengatakan sesuai keinginannya.
Entah
bagaimana ceritanya, tetangga-tetangga yang dulu bertanya siapa diantara suami
istri itu yang bermasalah akhirnya mendengar bahwa pria itu mandul. Kabar itu
juga sampai kepada kerabat mereka. Kasak kusuk pun semakin kencang. Meski
demikian, rumah tangga keduanya masih bertahan. Hingga suatu hari, lima tahun
setelah hasil lab itu, wanita itu tak dapat lagi bersabar.
“Sembilan
tahun sudah kita berkeluarga, dan selama itu aku dapat bersabar. Sampai-sampai
para tetangga kasihan melihatku dan mengatakan ‘kasihan yang wanita shalihah
itu. Ia telah bersabar hidup bertahun-tahun dengan suaminya yang mandul.’ Terus
terang, aku ingin menggendong anak, mengasuh dan membesarkannya. Kini aku tak
dapat lagi memperpanjang kesabaranku. Tolong ceraikan aku agar aku bisa menikah
dengan laki-laki lain dan mendapat anak darinya,” kata wanita itu kepada
suaminya.
Sang
suami dengan sabar mendengar tuntutan itu sambil menasehatinya. “Ini ujian dari
Allah sayang… Kita perlu bersabar…”Mendengar nasehat tersebut, emosi istri
sedikit mereda. “Baiklah, aku akan bersabar. Tapi hanya satu tahun. Jika
berlalu masa itu dan kau tidak juga memberiku keturunan, ceraikan saja aku.”
Selang
beberapa hari, tiba-tiba wanita itu jatuh sakit. Hasil lab menunjukkan, ia
mengalami gagal ginjal. “Ini semua gara-gara kamu,” kata wanita itu kepada
suaminya yang saat itu menungguinya di rumah sakit, “Aku terus menahan sabar
karenamu. Inilah akibatnya. Sudah tidak punya anak, kini aku kehilangan
ginjalku.”
“Apa?
Kau akan pergi ke luar negeri?” kata wanita itu dengan nada tinggi, esok
harinya ketika sang suami berpamitan kepadanya. Entah bagaimana perasaannya, ia
yang kini bad rest di rumah sakit harus berjuang sendiri tanpa
suami.
“Ini
tugas dinas, Sayang. Dan sekaligus aku akan mencari pendonor ginjal buatmu” Beberapa
hari kemudian, wanita itu mendapatkan kabar gembira bahwa telah ada seseorang
yang mau mendonorkan ginjalnya. Tetapi dokter merahasiakan namanya.
“Orang
itu sungguh baik, Dokter. Ia mendonorkan ginjalnya untukku tanpa mau diketahui
namanya. Sementara suamiku sendiri, ia justru pergi ke luar negeri,
meninggalkanku sendiri,” mata dokter yang mendengar komentar itu berkaca-kaca.
Ia tahu persis siapa yang mendonorkan ginjal untuk wanita itu.
Dengan
izin Allah, operasi berhasil dengan baik. Wanita itu sembuh. Dan yang lebih
menakjubkan, tak lama kemudian ia hamil, lalu melahirkan seorang bayi yang
lucu. Ucapan selamat datang dari kerabat dan tetangga. Kini bisik-bisik itu
telah selesai. Dan kehidupan rumah tangga keduanya pun normal kembali.
Kini
sang suami telah menjadi seorang panitera di pengadilan Jeddah, setelah
menyelesaikan pendidikan S2 dan S3-nya. Ia juga telah hafal Qur’an dengan
mendapatkan sanad riwayat Hafs dari ‘Ashim.
Suatu
hari saat sang suami dinas luar, tak sengaja wanita itu menemukan buku harian
suaminya di atas meja. Mungkin karena terburu-buru, sang suami itu lupa
menyimpannya seperti biasa.
Betapa
terkejutnya wanita itu membaca halaman demi halaman episode rumah tangga yang
selama ini tak diketahuinya. Bahwa ternyata yang mandul adalah dirinya. Bahwa
pendonor ginjal itu adalah suaminya sendiri. Ia pun menangis sejadi-jadinya.
Hampir pingsan ia menyadari kekeliruannya selama ini. Ia yang tak tahan dan
ingin minta cerai, padahal suaminya lah manusia paling sabar yang ia temui. Ia
kesal dengan suaminya yang pergi saat ia operasi, padahal suaminya terbaring
lemah saat itu demi menghibahkan satu ginjal untuknya.
Ketika
sang suami pulang, wanita itu tak mampu memandang wajahnya. Ia tertunduk malu.
Hampir seratus hari lamanya, ia terus begitu. Malu di depan pria yang paling
dicintainya dan paling berjasa dalam hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar